(Tengah) Kepala OJK Regional 4 Jawa Timur, Heru Cahyono di acara Evaluasi Kinerja, Feed Back Pengawasan dan Capacity Building BPRS tahun 2018 di Hotel Singhasari, Batu, Rabu (28/11/2018) |
BATU, MALANG (IndonesiaTerkini.com)- Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 4 Jawa Timur (Jatim) mengadakan Evaluasi Kinerja, Feed Back Pengawasan dan Capacity Building BPRS tahun 2018 pada Rabu, 28 November 2018 bertempat di Hotel Singhasari, Batu. pertemuan ini dihadiri oleh Pemegang Saham, Direksi, Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah dari 28 BPRS se-Jatim.
Evaluasi kinerja ini merupakan salah satu wujud konkrit kepedulian dan perhatian OJK terhadap perkembangan industri BPR Syariah di Provinsi Jatim dan diselenggarakan secara rutin setiap tahun. Evaluasi Kinerja kali ini mengangkat tema “Penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan Manajemen Risiko dalam Rangka Mewujudkan Industri BPRS yang Tumbuh Sehat, Terpercaya dan Berkelanjutan.
Dalam kegiatan evaluasi ini, OJK memberikan pemaparan mengenai perkembangan kinerja BPR Syariah sampai dengan triwulan III tahun 2018, menerima feed back atas pelaksanaan fungsi pengawasan serta melakukan capacity building mengenai penerapan GCG dan Manajemen Risiko pada perbankan syariah serta teknik pengawasan prinsip syariah dengan nara sumber yang pakar di bidangnya, yaitu Agus Katon (Direktur Kepatuhan PT. Bank BRI Syariah, Tbk), Tantri Indrawati (Direktur Kepatuhan BCA Syariah) dan Muhammad Gunawan Yasni (Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia).
Kepala OJK Regional 4 Jawa Timur, Heru Cahyono dalam sambutannya menyampaikan, tantangan perekonomian Indonesia ke depan masih tergolong cukup tinggi seiring dengan ketidakpastian ekonomi global yang terus berlanjut dan dipengaruhi oleh ekspektasi pasar terhadap kenaikan Federal Fund Rate (FFR), perkembangan intensitas perang dagang (trade war) antara Amerika dan Tiongkok, serta krisis yang mengancam beberapa negara emerging market.
"Meskipun kondisi perekonomian global masih penuh dengan ketidakpastian, namun sistem keuangan Indonesia masih stabil dan terjaga dengan baik, tercermin dari ketahanan perbankan yang masih kuat dengan CAR 23,33%. kondisi likuiditas perbankan yang masih ample di tengah volatilitas pasar Keuangan dengan rasio AL/NCD > 100%, rasio AL/DPK > 20% dan LDR 93,39%, intermediasi perbankan yang masih positif dengan pertumbuhan kredit 12,65% (yoy), risiko kredit yang masih manageable dengan rasio NPL/F 2,66% dan pertumbuhan DPK masih positif sebesar 6,57% (yoy)," ujarnya, Rabu (28/11/2018).
Heru Cahyono juga menyampaikan, ekonomi Jatim pada triwulan Ill 2018 tumbuh 5,40% (yoy) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan nasional (5,17%) dengan tingkat inflasi sebesar 2,75% lebih rendah dibandingkan inflasi nasional (3,16%). Sejalan dengan hal tersebut, sektor jasa keuangan di Jatim juga mencatatkan kinerja yang positif, antara lain tercermin dari peningkatan volume usaha perbankan sebesar 6,28% (yoy) yang ditopang oleh pertumbuhan DPK sebesar 7,82% (yoy) dan kredit/ Pembiayaan 10,67% (yoy). Diantara kinerja positif perbankan Jatim, bank syariah mampu menunjukkan eksistensinya dengan mencatatkan pertumbuhan volume usaha sebesar 16,12% (yoy). DPK 13,84% (yoy) dan pembiayaan 18,02% (yoy).
"Pertumbuhan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perbankan di Jatim sehingga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan masyarakat Jatim terhadap Perbankan Syariah mengalami peningkatan yang Signifikan. Namun demikian, perbankan syariah di Jatim harus lebih berupaya meningkatkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan, mengingat risiko kredit perbankan syariah di Jatim cenderung meningkat secara signifikan yang ditandai dengan peningkatan rasio NPF dari 2,74% pada triwulan III tahun 2017 menjadi 5,23% pada triwulan III tahun 2018," katanya.
Sebagai bagian dari sistem keuangan di Indonesia, industri perbankan syariah khususnya BPRS tidak lepas dari berbagai tantangan yang dihadapi, baik tantangan yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro, maupun tantangan tantangan lain yang muncul akibat dari persaingan usaha serta meningkatnya tuntutan regulasi. Untuk menjawab tantangan tersebut, Heru Cahyono menekankan bahwa BPRS di Jawa Timur harus mampu lebih adaptif dan kreatif dalam menyusun berbagai strategi bisnis, baik strategi dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat maupun strategi dalam menjalankan kegiatan operasional bank se-efektif dan se-efisien mungkin.
Semakin meluasnya pelayanan disertai peningkatan volume usaha BPRS maka semakin meningkat pula risiko BPRS sehingga mendorong kebutuhan terhadap Penerapan Manajemen Risiko oleh BPRS. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan kinerja BPRS, melindungi pemangku kepentingan (stake holder) dan meningkatkan kepatuhan BPRS terhadap perundang-undangan, serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada perbankan, OJK akan segera menerbitkan regulasi tentang Penetapan Manajemen Risiko dan Penerapan Tata Kelola bagi BPRS. Sehubungan dengan hal itu, Heru Cahyono meminta agar BPRS segera mempersiapkan infrastruktur yang memadai, terutama terkait dengan peningkatan kompetensi Sumber Daya Insani, kecukupan Kebijakan dan Prosedur serta kesiapan Teknologi dan Sistem Informasi.
Heru Cahyono juga menyampaikan concern mengenai rasio NPF BPRS yang tergolong tinggi, mengingat tingginya NPF berpengaruh signifikan terhadap penilaian tingkat kesehatan BPRS yang menjadi salah satu kriteria dalam penetapan status Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI), sehingga diperlukan langkah-langkah konkrit untuk menurunkan tingginya rasio NPF tersebut sekaligus mengantisipasi peningkatan NPF. "Terkait dengan pentingnya modal bank sebagai risk buffer dan pemenuhan ketentuan permodalan, agar BPRS dapat mengantisipasi dari mengupayakan sejak dini kewajiban pemenuhan modal inti minimum yang harus dipenuhi pada akhir tahun 2020, terutama bagi BPRS dengan modal inti kurang dari Rp3 miliar maupun kurang dari Rp6 miliar," tutupnya. (dri)
Labels:
Ekonomi
Thanks for reading OJK Regional 4 Jatim Paparkan Evaluasi Kinerja, Feed Back Pengawasan dan Capacity Building BPRS Tahun 2018, Seperti Ini Hasilnya. Please share...!